Bicara anak tidak ada habisnya, kelucuan mereka membebat jiwa setiap bunda. Simak saja celoteh mereka, pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan mulut mungil itu bahkan seringkali luar biasa untuk disimak orang dewasa sekalipun. Belum lagi menyusuri dunia imaginasi mereka, yang terkadang diremehkan orang dewasa yang justru telah mampu menghantarkan Albert Einstein, Newton dan lainnya menjadi tokoh yang membangun peradaban manusia. Seperti kejadian kecil tadi malam aku mendengar keluhan putri kecilku yang berusia tiga tahun yang mampu membuka kesadaranku, “Bunda dede tidak mau masuk surga.” Sejenak aku terkejut tapi kemudian dengan sabar kutanyakan “Mengapa nak, bukankah surga itu sangat hebat dan menyenangkan? Di sana dede bisa minta apa saja sama Alloh dan pasti diberi.” Dengan lugu putriku menjawab “ Dede tidak mau meninggal, kan masuk surga harus meninggal dulu. Dede tidak mau semua orang meninggal karena dede sayang mereka”. Kurengkuh putriku dengan sayang “ Nak walaupun meninggal nanti dede bisa bertemu lagi dengan mereka di surga, asalkan kita selalu berbuat kebaikan”. “Tapi dede tidak mau dikubur di dalam tanah” terbersit ketakutan di wajah polosnya. “Dede tidak perlu takut, Alloh akan menolong hamba yang disayangiNya” kurengkuh tubuh mungilnya dan berharap kehangatan itu menenangkan jiwanya, mungkin beberapa tahun yang akan datang dia akan paham bahwa ‘dikubur’ bukan suatu hal yang mengerikan lagi tetapi hanyalah menempatkan lahiriah yang tak memiliki rasa lagi.
Percakapan itu membawaku pada sebuah perenungan akan makna kehilangan. Dulu pada waktu mendengar ibuku meninggal aku pun merasakan bahwa kehilangan itu membuatku benar-benar runtuh. Padahal secara akal aku tahu betul bahwa itu sudah takdir ajal beliau sampai pada saat itu. Bahkan aku sebelumnya sudah mempersiapkan hati kalau memang sudah saatnya ibu akan dipundut Alloh karena ibu dalam kondisi koma di rumah sakit. Aku juga bukan tidak tahu arti kepemilikanNYA dan akan kembalinya semua kepadaNYA. Tapi semua itu tak lantas mampu menahan air mataku yang seolah bendungan jebol, berlinang terus tanpa aku sadari. Bahkan tidur dan makan pun aku tak ingin. Tidak ada rasa lapar, haus ataupun lelah semua serba mengambang, walau bibirku tak berhenti mengucap AsmaNya. Bahkan ketika sudah berlalu beberapa hari pun jiwaku masih labil, sebentar kosong dan menangis di sela-sela kesibukanku. Sampai suatu malam setelah selesai sholat lail untuk meminta kekuatan meghadapi cobaan, aku tertidur pulas. Mungkin karena keletihan setelah beberapa hari tidak bisa tidur. Aku bermimpi. Mimpi yang sangat luar biasa. Dalam mimpiku itu hanya muncul sebuah wajah saja tapi mampu mengubah segalanya. Wajah itu adalah wajah IBU, ibuku yang sangat cantik dengan balutan warna putih, banyak bunga bernada serupa serta sebuah mahkota menghias kepalanya. Ibu tersenyum anggun, sangat mendamaikanku dan hanya begitu terus sampai aku bangun pagi. Perasaanku pada saat itu teramat damai dan bahkan air mata yang biasanya selalu menemani hari-hariku dari bangun sampai lelap lagi pun tiba-tiba tak hendak keluar. Kurasakan kedamaian itu mampu menyerap semua kesedihanku. Subhanalloh. Di saat itu baru masuk tuh, nasehat suami dan sahabat-sahabat untuk mengikhlaskan kepergian beliau, walau sebenarnya aku mengira sudah ikhlas namun perasaan sedih muncul berkepanjangan tanpa aku mampu menahannya. Kini, aku menyadari bahwa sebuah kehilangan akan berbeda pengaruhnya pada setiap jiwa yang berbeda. Selain itu besarnya arti kehadiran dari yang hilang itu juga mempengaruhi rasa keikhlasan. Mungkin kita harus banyak belajar dan berbenah untuk memahami makna kehilangan yang Illahiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar