Beberapa hari yang lalu aku menjenguk teman yang baru melahirkan bayi laki-laki yang diidamkan, anak pertama mereka perempuan. Bayi itu lahir bertepatan dengan tanggal 10-10-10. Sebuah deretan angka yang unik dan banyak orang berminat menjadikannya momentum untuk menandai peristiwa penting dalam hidupnya. Salah satunya melahirkan anak dengan operasi caesar. Memang teknologi persalinan ini sekarang sudah membudaya di kalangan masyarakat, dulu tindakan caesar hanya apabila ada kesulitan untuk melahirkan secara normal dengan alasan kesehatan. Dewasa ini caesar dilakukan tidak lagi dikarenakan alasan medis tetapi sudah menjadi trend. Biasanya untuk memilih tanggal lahir bayi, tempat lahir atau alasan kecantikan organ sexual. Dan peminatnya pun luar bisa jumlahnya. Seperti cerita teman yang baru melahirkan itu bahwa ada dua puluh pasien dari dokter yang menangani persalinannya, yang ingin dicaesar agar lahir pada tanggal 10-10-10. Bayangkan baru satu dokter saja sudah demikian banyaknya.Bagaimana kalau sepuluh, dua puluh atau bahkan seratus dokter. Mengingat besarnya biaya persalinan dengan tindakan caesar, mau tidak mau pikiran saya membayangkan betapa banyaknya orang kaya di negeri kita ini.
Ironisnya pada saat yang bersamaan saya baca di media massa mengabarkan betapa biaya persalinan yang tinggi membuat seorang buruh menyesal tidak berkesempatan membawa istrinya ke rumah sakit hingga meninggalnya akibat kesulitan melahirkan normal dan hanya ditangani oleh seorang paraji atau dukun beranak. Ibu malang ini merupakan gambaran sisi masyarakat lain yang tentu berbeda dengan kelompok caesarist tadi. Dan 75% dari jumlah rakyat Indonesia merupakan kelompok ibu malang itu yaitu masyarakat menengah ke bawah. Inilah Indonesiaku yang konon merupakan negeri makmur gemah ripah loh jinawi.
Apabila kita tilik kembali perkembangan sosial masyarakat kita, memang belum merata kesejahteraannya. Jenjang perbedaannya teramat jauh, di satu sisi kekayaan melimpah ruah pada kelompok masyarakat tertentu, sedang di sisi lain kemiskinan yang teramat tidak manusiawi pada sebagian besar kelompok masyarakat. Mungkin para ekonom bisa menjelaskan teori ‘pembagian roti besar’ yang idealnya akan meneteskan remah-remah pada masyarakat sekitar sehingga grow up bersama-sama. Tetapi hasilnya kenapa justru seperti lagu Bang Roma yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Belum lagi aspek-aspek yang mendasar seperti kesehatan dan pendidikan yang dikomersialkan sehingga semakin mengucilkan masyarakat miskin. Seolah ada ungkapan sinis bahwa orang miskin tidak boleh sakit, orang miskin tidak boleh pintar. Padahal mereka juga warga negara yang berhak atas perlindungan, kesehatan dan mendapatkan pendidikan yang layak sesuai UUD Negara ini. Mereka sudah berusaha tapi kesempatan hanya bisa didapatkan atas campur tangan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak kelompok tertentu dan memperhatikan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa pandang hubungan darah, daerah dan kepentingan tertentu. Indahnya jika hal itu terwujud.
Alhamdulillah ada sedikit berita gembira, dua tahun terakhir pemerintah mencanangkan adanya pendidikan gratis yang walaupun belum sepenuhnya diterapkan tetap menjadi angin segar bagi perkembangan pendidikan bangsa ini. Kita menunggu pencanangan pelayanan pengobatan gratis di rumah sakit yang memadai. Sehingga bisa membantu ibu-ibu malang yang ingin melahirkan secara layak. Semoga aja semakin hari Indonesia semakin berbenah ke arah yang lebih baik. Bagus Indonesia !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar