Minggu, 07 November 2010

Ibuku Sayaaaang

Pada saat hati galau akan terasa nyaman jika kita bersama orang yang kita cintai. Alhamdulillah demikian pula aku, ketika jalan hidup menghendaki untuk terpaku sejenak dalam kondisi yang tidak menyenangkan, sahabat sejatiku, kangmas selalu saja setia dengan segala sikap gentlemannya entah melindungi, mengkritisi atau bahkan mengeliminir dari permasalahan tersebut.
Fungsi kepemimpinan laki-laki memang merupakan sunatullah, dan didamba setiap wanita. Kefemininan yang dimiliki wanita akan menemukan makna hakikinya jika disejajarkan dengan kemaskulinan laki-laki. Kita mengenal fungsi kepala keluarga dalam masyarakat yang biasanya akan berbanding lurus dengan tugas-tugas kelakian seperti melindungi dan memberi keamanan, menjaga martabat dan harga diri dan mencukupkan kebutuhan materi bagi keluarga. Bahkan saking maskulinnya pada sebagian keluarga ditanamkan sikap segan yang cenderung takut kepada sosok Bapak. Bapak  seolah sosok polisi keluarga yang akan bertindak tegas jika ada anggota keluarga yang ‘nakal’. Tidak demikian dengan sosok feminin seorang ibu, kesan bahwa sumber kedamaian dan tempat ‘pulang’ yang primordial ada padanya. Pembagian tugas dan makna tersebut secara alami terbentuk dalam masyarakat. Sehingga secara alami anak pun akan cenderung dekat dengan ibu.
Bagaimana jika hal yang terjadi malah sebaliknya, seperti yang saya baca di harian hari ini sungguh menggelegakkan hati setiap yang mengaku manusia beradab. Seorang anak mengaku telah dinodai Bapaknya sejak usia sembilan tahun hingga sekarang usia empat belas tahun. Kekejian itu sampai harus terjadi lima tahun untuk terungkap. Dimana hati Bapak tersebut tidak perlu kita tanyakan mungkin sudah duluan terbang ke neraka, tapi dimana IBU tempat ‘pulang’ anak-anak yang tidak tahu sepak terjang suami dan tidak membaca perubahan perilaku sang putri. Mungkin pada saat pertama kejadian si Bunga akan meringis kesakitan sepanjang hari dan meriang di malam harinya. Matanya terlihat kosong dengan bibir terkatup, menyendiri, menangis dan tidak bisa tidur karena dibayangi mimpi buruk. Atau justru pergi tidak mau pulang, ketakutan dan matanya nyala menyiratkan dendam ke Bapaknya karena ancaman. Dimanakah Engkau wahai Ibu, harusnya kau tahu perubahan itu dan kau datangi anakmu itu dengan sayang, kau rengkuh, ditenangkan dan setelah dia percaya kau bisa menanyakan apa yang terjadi. Ungkapan rasa hati si Bunga yang tak berdaya itu kepada sang Ibu merupakan obat yang bumi pun tak mampu menanggungnya. Semua itu tidak dia dapatkan. Betapa Bapak yang seharusnya melindungi dan memberi keamanan, menjaga martabat dan harga diri berubah menjadi singa pemangsa dan ibu tempat ‘pulang’ justru hilang ditengah rimba.
Apapun faktor pencetusnya saya tidak akan bahas di sini. Mungkin memang kiamat sudah dekat atau kemungkinan yang lain. Yang jelas hatiku kini sedang terlalu berduka untuk kekejian itu. Untuk Bunga, untuk ibu yang mungkin terlalu tertekan kondisi hingga tak mampu mengamati kondisi anaknya. Semua itu mengembalikanku pada kesadaran bahwa aku juga seorang ibu dengan dua anak yang aku tinggalkan selama jam-jam efektif dalam hidupnya pada usia emas. Mungkin aku juga belum menjadi tempat ‘pulang’ bagi anak-anakku. Dan perih hati ini untuk anakku yang mungkin ‘terbengkalaikan’ keinginannya untuk mencurahkan segala rasanya ketika menemukan sesuatu yang ingin ia bagikan rasa itu dengan IBUnya.       
Kini aku sadari betapa aku sangat bahagia ketika anak mau mengadukan senang, sedih dan mungkin ketakutannya walau dalam bentuk yang orang lain tidak mengerti tapi aku ingin sebagai ibunya mengerti. Sedikit cerita pada saat anakku yang kecil sakit pada saat itu umurnya baru 3 tahun dan mengharuskan ia diopname, selama itu badanku babak belur dipukulin, ditendangin, dijambak oleh tangan dan kaki mungilnya yang aku cintai. Awalnya semua memaklumi tapi setelah hari ketiga dan setelahnya orang disekelilingku dan bahkan ayah si anak melontarkan kata-kata larangan yang terus-menerus walau sama sekali tidak digubrisnya. Aku tetap diam dan berusaha merengkuh, membelai dan menciuminya. Sembari kutata hati agar tetap tenang dan tidak kesal. Aku tanamkan di hatiku bahwa sulit berada di pihaknya, ia terlalu dini untuk memahami suasana baru, rasa sakit dan darah yang sering keluar dari mulut dan hidungnya di awal dia sakit. Belum lagi orang-orang asing yang melakukan eksekusi menyakitkan yang hadir dalam wujud dokter, perawat dan pengunjung. Malah terbersit dalam hatiku andai bisa ia masuk ke dalam tubuhku untuk kulindungi akan kulakukan. Dan aku pun mendapati diriku puas dengan apa yang kulakukan setelah kejadian beberapa bulan berlalu. Anakku sering kulihat bermain sakit-sakitan dengan bonekanya ia selalu menirukan apa yang kulakukan padanya secara persis. Aku melihat sebenarnya kejadian itu traumatis, terbukti dari ungkapan sedihnya ketika mengatakan anaknya sakit muntah darah dan diopname. Dan ungkapan menghiburnya pada boneka yang sakit menandakan betapa memorinya mencatat bahwa seorang ibu merupakan tempat ‘pulang’ yang menjadi muara segala rasa hatinya. Bayangkan jika yang ia ingat adalah amarah ibu (karena lelah berhari-hari tidak sempat tidur) ketika ia sulit disuruh makan, menyemburkan obat yang dengan setengah mati berhasil dimasukan ke mulutnya, memberontak hanya karena diselipin thermometer di ketiaknya. Atau keluhan ibu yang enggan diajak main ibu-ibuan dengan boneka karena capek menunggui nyaris tanpa memejamkan mata. Alangkah aneh jika yang keluar kata-kata itu yang ia tiru dari ibunya ketika ia bermain dengan bonekanya setelah kejadian itu berlalu.
Suatu Minggu di akhir liburan di rumah budhenya, anakku yang besar masih ingin tinggal. Padahal semua harus pulang karena hari Senin Ayah Bunda harus ke kantor dan ia pun harus sekolah. Ketika diajak pulang si anak malah mengamuk dipukulin saya dengan lumayan dech. Ayahnya marah, dan budhenya pun melarang dengan kata-kata yang luar biasa seperti “Nak nggak boleh begitu, budhe ngga rela adik budhe dipukulin kayak gitu”. Kehebohan pun terjadi. Tapi entahlah menurutku saat itu bukan itu yang dibutuhin anakku. Si anak tahu bahwa ia tidak mungkin akan tinggal karena dia sudah paham tapi dia terlampau ingin. Menurutku dia butuh didengar dan dimengerti saja. Kalau dia sampai memukul itu sebenarnya efek dari kerasnya larangan yang ia terima. Akhirnya kupeluk anakku kukatakan bahwa keinginannya bisa dipahami hanya tidak bisa karena seperti yang ia tahu, tapi lain kali akan direncanakan menginap lagi selama yang disepakati bersama. Dengan waktu yang sedikit agak lama karena harus membujuk dengan kata-kata yang dimengerti akhirnya dia berhenti menangis dan mengamuk. Yang menakjubkanku ketika berada dalam mobil menuju pulang, di saat semua berdiam, mungkin karena keletihan tiba-tiba ia memelukku, mencium sambil berkata “I love U Bunda, Bunda baik dech." Aku sempat terpana sebelum kubalas pelukannya kemudian diam-diam dari balik punggungnya kuhapus air mataku. Haru.
Yach mungkin hanya sebuah kejadian biasa, tapi alangkah indahnya jika anak kita tahu bahwa ia begitu berharga bagi kita hingga segala rasa hatinya didengar oleh kita orang tuanya. Andai boleh memilih akankah mereka mau dilahirkan oleh ibu yang cuek, miskin dan bersuami laki-laki keji, naudzubillahi min dzalik. Sekedar sebuah renungan untuk pembelajaran. (Tulisan ini sebenarnya dibuat setahun yang lalu kala itu aku membaca harian yang menurunkan berita pemerkosaan seorang bapak terhadap anaknya pada 29 Oktober 2009).                                                                    

Rabu, 03 November 2010

10-10-10


Beberapa hari yang lalu aku menjenguk teman yang baru melahirkan bayi laki-laki yang diidamkan, anak pertama mereka perempuan. Bayi itu lahir bertepatan dengan tanggal 10-10-10. Sebuah deretan angka yang unik dan banyak orang berminat menjadikannya momentum untuk menandai peristiwa penting dalam hidupnya. Salah satunya melahirkan anak dengan operasi caesar. Memang teknologi persalinan ini sekarang sudah membudaya di kalangan masyarakat, dulu tindakan caesar hanya apabila ada kesulitan untuk melahirkan secara normal dengan alasan kesehatan. Dewasa ini caesar dilakukan tidak lagi dikarenakan alasan medis tetapi sudah menjadi trend. Biasanya untuk memilih tanggal lahir bayi, tempat lahir atau alasan kecantikan organ sexual. Dan peminatnya pun luar bisa jumlahnya. Seperti cerita teman yang baru melahirkan itu bahwa ada dua puluh pasien dari dokter yang menangani persalinannya, yang ingin dicaesar agar lahir pada tanggal 10-10-10. Bayangkan baru satu dokter saja sudah demikian banyaknya.Bagaimana kalau sepuluh, dua puluh atau bahkan seratus dokter. Mengingat besarnya biaya persalinan dengan tindakan caesar, mau tidak mau pikiran saya membayangkan betapa banyaknya orang kaya di negeri kita ini.      
Ironisnya pada saat yang bersamaan saya baca di media massa mengabarkan betapa biaya persalinan yang tinggi membuat seorang buruh menyesal tidak berkesempatan membawa istrinya ke rumah sakit hingga meninggalnya akibat kesulitan melahirkan normal dan hanya ditangani oleh seorang paraji atau dukun beranak. Ibu malang ini merupakan gambaran sisi masyarakat lain yang tentu berbeda dengan kelompok caesarist tadi. Dan 75% dari jumlah rakyat Indonesia merupakan kelompok ibu malang itu yaitu masyarakat menengah ke bawah. Inilah Indonesiaku yang konon merupakan negeri makmur gemah ripah loh jinawi.  
Apabila kita tilik kembali perkembangan sosial  masyarakat kita, memang belum merata kesejahteraannya. Jenjang perbedaannya teramat jauh, di satu sisi kekayaan melimpah ruah pada kelompok masyarakat tertentu, sedang di sisi lain kemiskinan yang teramat tidak manusiawi pada sebagian besar kelompok masyarakat. Mungkin para ekonom bisa menjelaskan teori ‘pembagian roti besar’ yang idealnya akan meneteskan remah-remah pada masyarakat sekitar sehingga grow up bersama-sama. Tetapi hasilnya kenapa justru seperti lagu Bang Roma yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Belum lagi aspek-aspek yang mendasar seperti kesehatan dan pendidikan yang dikomersialkan sehingga semakin mengucilkan masyarakat miskin. Seolah ada ungkapan sinis bahwa orang miskin tidak boleh sakit, orang miskin tidak boleh pintar. Padahal mereka juga warga negara yang berhak atas perlindungan, kesehatan dan mendapatkan pendidikan yang layak sesuai UUD Negara ini. Mereka sudah berusaha tapi kesempatan hanya bisa didapatkan atas campur tangan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak kelompok tertentu dan memperhatikan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa pandang hubungan darah, daerah dan kepentingan tertentu. Indahnya jika hal itu terwujud.
Alhamdulillah ada sedikit berita gembira, dua tahun terakhir pemerintah mencanangkan adanya pendidikan gratis yang walaupun belum sepenuhnya diterapkan tetap menjadi angin segar bagi perkembangan pendidikan bangsa ini. Kita menunggu pencanangan pelayanan pengobatan gratis di rumah sakit yang memadai. Sehingga bisa membantu ibu-ibu malang yang ingin melahirkan secara layak. Semoga aja semakin hari Indonesia semakin berbenah ke arah yang lebih baik. Bagus Indonesia !!!            


(teruntuk  :  ibu-ibu yang juga manusia)

Selasa, 02 November 2010

Jaga Hati Yuuk


Alangkah tidak nyaman mengurusi hati yang selalu berganti suasana dan sulit dikompromi.
Kuhirup udara pagi yang walaupun masih gelap namun kala hati cerah suasana pun ikut mengamini. Kutundukkan hati menghadap Sang Pemberi dengan ketakziman kuat. Alhamdulillah indahnya. Sedikit berbenah dan memberi instruksi pada ‘mbak-mbak’ untuk menyiapkan masakan dan bebersih rumah kulanjutkan mandi. Kurasakan guyuran air sebagai nikmat dari Illahi yang tak hanya membersihkan fisik juga mendamaikan hatiku. Setelah cantik dengan baju kantor kubangunkan suami dan anak sulungku tercinta. Kuingin meraup cerahnya pagi bersama orang terkasih. Kesempatan memandikan anak sering kugunakan untuk mengkondisikannya menghadapi hari. Kugugah semangatnya dengan menceritakan kegiatan-kegiatan yang bisa dia lakukan sehari nanti. Terkadang anakku terbawa semangatku namun di waktu lain tetap merasakan malas karena masih ngantuk. Hmmm inilah tantangan naluri keibuanku. Setelah beres kusodorkan susu hangat kesukaannya dengan sedikit kue supaya nanti bisa sarapan nasi sebelum berangkat sekolah. Kuakhiri pertemuan pagi kami dengar kecupan pamitan. Yah aku harus meneruskan hariku di kantor di pagi yang masih gelap. Terima kasih sayang atas pengertian kalian yang aku sendiri tak yakin apakah kalian mengerti bisik hatiku.
            Kegiatan di kantor pun agak bervariasi, bisa survey data ke lapangan atau menggarap laporan di kantor. Dua kesibukan yang cukup membuatku asyik. Hari pun terasa indah jika semua kegiatan kulakukan dengan baik. Capek fisik bisa disembuhkan nanti jika sudah bertemu suami dan anak-anak. Suami tempat aku curhat dan berbenah hati, sedang bersama anak-anak aku akan having fun.
Ternyata tanpa aku duga sore kuakhiri dengan kejadian tidak mengenakan, sebuah kejadian kecil namun amat dalam menyakitiku. Mungkin sebuah akumulasi yang cukup berarti. Buyar sudah hari indah sehari seolah diakhiri hujan bencana yang menghapusnya dalam sekejap. Kedengaran lebay tapi memang itu yang saya rasakan. Sakit hati itu merubah senyum orang sekitarku menjadi sebuah tikaman senjata tajam. Langkah ringanku berganti seolah menggendong beban satu kwintal. Bibirpun susah tersenyum jika dipaksain jadinya malah aneh seperti sabit terbalik.
            Benar adanya bahwa menjaga hati itu pekerjaan yang teramat susah. Mungkin kita harus belajar legowo nrimo apa yang terjadi, nrimo ing pandum dan menjadi satrio untuk mengalah. Itu ajaran leluhur yang saya terima dari orang tua, saya kira tidak jauh beda dengan ajaran Nabi mengenai kesabaran, keikhlasan dan qonaah. Take care your soul…..
            Jagalah hati jangan kau kotori…..mengalun lagu Aa Gym yang dinyanyikan grup nasyid Snada dari Lenovo mungilku. Hatiku lebih damai kini.

Kehilangan


Bicara anak tidak ada habisnya, kelucuan mereka membebat jiwa setiap bunda. Simak saja celoteh mereka, pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan mulut mungil itu bahkan seringkali luar biasa untuk disimak orang dewasa sekalipun. Belum lagi menyusuri dunia imaginasi mereka, yang terkadang diremehkan orang dewasa yang justru telah mampu menghantarkan Albert Einstein, Newton dan lainnya menjadi tokoh yang membangun peradaban manusia. Seperti kejadian kecil tadi malam aku mendengar keluhan putri kecilku yang berusia tiga tahun yang mampu membuka kesadaranku, “Bunda dede tidak mau masuk surga.” Sejenak aku terkejut tapi kemudian dengan sabar kutanyakan “Mengapa nak, bukankah surga itu sangat hebat dan menyenangkan? Di sana dede bisa minta apa saja sama Alloh dan pasti diberi.” Dengan lugu putriku menjawab “ Dede tidak mau meninggal, kan masuk surga harus meninggal dulu. Dede tidak mau semua orang meninggal karena dede sayang mereka”. Kurengkuh putriku dengan sayang “ Nak walaupun meninggal nanti dede bisa bertemu lagi dengan mereka di surga, asalkan kita selalu berbuat kebaikan”. “Tapi dede tidak mau dikubur di dalam tanah” terbersit ketakutan di wajah polosnya. “Dede tidak perlu takut, Alloh akan menolong hamba yang disayangiNya” kurengkuh tubuh mungilnya dan berharap kehangatan itu menenangkan jiwanya, mungkin beberapa tahun yang akan datang dia akan paham bahwa ‘dikubur’ bukan suatu hal yang mengerikan lagi tetapi hanyalah menempatkan lahiriah yang tak memiliki rasa lagi.
Percakapan itu membawaku pada sebuah perenungan akan makna kehilangan. Dulu pada waktu mendengar ibuku meninggal aku pun merasakan bahwa kehilangan itu membuatku benar-benar runtuh. Padahal secara akal aku tahu betul bahwa itu sudah takdir ajal beliau sampai pada saat itu. Bahkan aku sebelumnya sudah mempersiapkan hati kalau memang sudah saatnya ibu akan dipundut Alloh karena ibu dalam kondisi koma di rumah sakit. Aku juga bukan tidak tahu arti kepemilikanNYA dan akan kembalinya semua kepadaNYA. Tapi semua itu tak lantas mampu menahan air mataku yang seolah bendungan jebol, berlinang terus tanpa aku sadari. Bahkan tidur dan makan pun aku tak ingin. Tidak ada rasa lapar, haus ataupun lelah semua serba mengambang, walau bibirku tak berhenti mengucap AsmaNya. Bahkan ketika sudah berlalu beberapa hari pun jiwaku masih labil, sebentar kosong dan menangis di sela-sela kesibukanku. Sampai suatu malam setelah selesai sholat lail untuk meminta kekuatan meghadapi cobaan, aku tertidur pulas. Mungkin karena keletihan setelah beberapa hari tidak bisa tidur. Aku bermimpi. Mimpi yang sangat luar biasa. Dalam mimpiku itu hanya muncul sebuah wajah saja tapi mampu mengubah segalanya. Wajah itu adalah wajah IBU, ibuku yang sangat cantik dengan balutan warna putih, banyak bunga bernada serupa serta sebuah mahkota menghias kepalanya. Ibu tersenyum anggun, sangat mendamaikanku dan hanya begitu terus sampai aku bangun pagi. Perasaanku pada saat itu teramat damai dan bahkan air mata yang biasanya selalu menemani hari-hariku dari bangun sampai lelap lagi pun tiba-tiba tak hendak keluar. Kurasakan kedamaian itu mampu menyerap semua kesedihanku. Subhanalloh. Di saat itu baru masuk tuh, nasehat suami dan sahabat-sahabat untuk mengikhlaskan kepergian beliau, walau sebenarnya aku mengira sudah ikhlas namun perasaan sedih muncul berkepanjangan tanpa aku mampu menahannya. Kini, aku menyadari bahwa sebuah kehilangan akan berbeda pengaruhnya pada setiap jiwa yang berbeda. Selain itu besarnya arti kehadiran dari yang hilang itu juga mempengaruhi rasa keikhlasan. Mungkin kita harus banyak belajar dan berbenah untuk memahami makna kehilangan yang Illahiyah. 

Kala Hati Bicara


Kala hati bicara, nurani ku bertanya, masihkah ada, rindu di dalam dada. Mungkinkah ALLOH, ampuni sgala dosa, untuk Mu segalanya hidupku ini ….
Rutinitas pagi mulai kujalani kembali. Ada kegamangan, mampu tidak aku menjalani aktivitas seperti dulu lagi atau justru semakin terbatasi oleh ‘ketidakmampuanku’ ini. Ah aku harus menepis segala kegelisahan ini, kuyakinkan diri bahwa masa depanku masih panjang dan aku optimis bisa menjalaninya dengan baik, betapa Alloh telah karuniakan aku orang-orang hebat di sekelilingku, Bapak yang luar biasa perhatian dan memberikan banyak pengetahuannya, Saudara-saudara sahabat abadiku yang selalu men-suport, my beloved kangmas yang selalu mencurahkan semua cinta dengan segala kepeduliannya untuk mencukupkanku dengan materi maupun immateri, sebenarnya semua rinduku habis untuknya yang kini sedang menjalankan tugas nun jauh di Makasar. Cepat pulang doong… , Juga my dearest kids kakak dan dede yang selalu mencerahkan duniaku dengan keoptimisan yang terbangun lewat tawa, imaginasi dan pengalaman  ekplorasi dunia mereka…. mmmuaah thanks for any kisses a day for Bunda, honey.
Selama ini ternyata aku tidak tahu kalau memiliki noda bersejarah di tulang punggungku akibat kesukaanku panjat pohon pada waktu kecil. Dulu kira-kira kelas 2 SD aku pernah jatuh dan mengakibatkan satu ruas tulang punggung bawah melenceng dari relnya dan bagian atas lurus kaku yang seharusnya melengkung. Anehnya baru ketahuan setelah dewasa padahal mengingat kegiatanku waktu sekolah dulu waduuh kok bisa yaaaach…? Sedih ? Pasti. Syok? Awalnya memang aku takut banget lumpuh seperti kata terapisku para shinse itu, untunglah semua tidak berkepanjangan seperti yang saya ungkap di atas, orang-orang yang kucintai amat membantu pemulihanku terutama secara psikis. Alloh yang Maha Berkehendak senantiasa bersama prasangka hambaNYA. Aku pasti sembuh kalau aku berpikir begitu, dan mereka yang kucintai mensuport aku dengan segala kemampuannya.
Ya Rohman.. ya Rohim… ya Ghofur, jika cinta itu tidak ada niscaya semesta inipun tak akan tercipta. Demikian pula dengan adanya aku, setiap sel dalam tubuhku terkoordinasi dengan baik hingga segala aktivitas bisa kujalani dari buaian hingga kini bukan tanpa sebab. Yang di Ataslah yang mengatur segalanya sesuai sunatullohNya dan mustahil tanpa segala cintaNya. Instrospeksilah kunci segala yang kualami kini.
kala sauh ditambatkan
peluh luruh bersama hembusan angin
asa pun terjalin
cahaya cinta tertangkap….. termampatkan
hanya mampu meneriakkan NamaMu 
7 Agustus 2009  (31 hari dari sakitku)