Pada saat hati galau akan terasa nyaman jika kita bersama orang yang kita cintai. Alhamdulillah demikian pula aku, ketika jalan hidup menghendaki untuk terpaku sejenak dalam kondisi yang tidak menyenangkan, sahabat sejatiku, kangmas selalu saja setia dengan segala sikap gentlemannya entah melindungi, mengkritisi atau bahkan mengeliminir dari permasalahan tersebut.
Fungsi kepemimpinan laki-laki memang merupakan sunatullah, dan didamba setiap wanita. Kefemininan yang dimiliki wanita akan menemukan makna hakikinya jika disejajarkan dengan kemaskulinan laki-laki. Kita mengenal fungsi kepala keluarga dalam masyarakat yang biasanya akan berbanding lurus dengan tugas-tugas kelakian seperti melindungi dan memberi keamanan, menjaga martabat dan harga diri dan mencukupkan kebutuhan materi bagi keluarga. Bahkan saking maskulinnya pada sebagian keluarga ditanamkan sikap segan yang cenderung takut kepada sosok Bapak. Bapak seolah sosok polisi keluarga yang akan bertindak tegas jika ada anggota keluarga yang ‘nakal’. Tidak demikian dengan sosok feminin seorang ibu, kesan bahwa sumber kedamaian dan tempat ‘pulang’ yang primordial ada padanya. Pembagian tugas dan makna tersebut secara alami terbentuk dalam masyarakat. Sehingga secara alami anak pun akan cenderung dekat dengan ibu.
Bagaimana jika hal yang terjadi malah sebaliknya, seperti yang saya baca di harian hari ini sungguh menggelegakkan hati setiap yang mengaku manusia beradab. Seorang anak mengaku telah dinodai Bapaknya sejak usia sembilan tahun hingga sekarang usia empat belas tahun. Kekejian itu sampai harus terjadi lima tahun untuk terungkap. Dimana hati Bapak tersebut tidak perlu kita tanyakan mungkin sudah duluan terbang ke neraka, tapi dimana IBU tempat ‘pulang’ anak-anak yang tidak tahu sepak terjang suami dan tidak membaca perubahan perilaku sang putri. Mungkin pada saat pertama kejadian si Bunga akan meringis kesakitan sepanjang hari dan meriang di malam harinya. Matanya terlihat kosong dengan bibir terkatup, menyendiri, menangis dan tidak bisa tidur karena dibayangi mimpi buruk. Atau justru pergi tidak mau pulang, ketakutan dan matanya nyala menyiratkan dendam ke Bapaknya karena ancaman. Dimanakah Engkau wahai Ibu, harusnya kau tahu perubahan itu dan kau datangi anakmu itu dengan sayang, kau rengkuh, ditenangkan dan setelah dia percaya kau bisa menanyakan apa yang terjadi. Ungkapan rasa hati si Bunga yang tak berdaya itu kepada sang Ibu merupakan obat yang bumi pun tak mampu menanggungnya. Semua itu tidak dia dapatkan. Betapa Bapak yang seharusnya melindungi dan memberi keamanan, menjaga martabat dan harga diri berubah menjadi singa pemangsa dan ibu tempat ‘pulang’ justru hilang ditengah rimba.
Apapun faktor pencetusnya saya tidak akan bahas di sini. Mungkin memang kiamat sudah dekat atau kemungkinan yang lain. Yang jelas hatiku kini sedang terlalu berduka untuk kekejian itu. Untuk Bunga, untuk ibu yang mungkin terlalu tertekan kondisi hingga tak mampu mengamati kondisi anaknya. Semua itu mengembalikanku pada kesadaran bahwa aku juga seorang ibu dengan dua anak yang aku tinggalkan selama jam-jam efektif dalam hidupnya pada usia emas. Mungkin aku juga belum menjadi tempat ‘pulang’ bagi anak-anakku. Dan perih hati ini untuk anakku yang mungkin ‘terbengkalaikan’ keinginannya untuk mencurahkan segala rasanya ketika menemukan sesuatu yang ingin ia bagikan rasa itu dengan IBUnya.
Kini aku sadari betapa aku sangat bahagia ketika anak mau mengadukan senang, sedih dan mungkin ketakutannya walau dalam bentuk yang orang lain tidak mengerti tapi aku ingin sebagai ibunya mengerti. Sedikit cerita pada saat anakku yang kecil sakit pada saat itu umurnya baru 3 tahun dan mengharuskan ia diopname, selama itu badanku babak belur dipukulin, ditendangin, dijambak oleh tangan dan kaki mungilnya yang aku cintai. Awalnya semua memaklumi tapi setelah hari ketiga dan setelahnya orang disekelilingku dan bahkan ayah si anak melontarkan kata-kata larangan yang terus-menerus walau sama sekali tidak digubrisnya. Aku tetap diam dan berusaha merengkuh, membelai dan menciuminya. Sembari kutata hati agar tetap tenang dan tidak kesal. Aku tanamkan di hatiku bahwa sulit berada di pihaknya, ia terlalu dini untuk memahami suasana baru, rasa sakit dan darah yang sering keluar dari mulut dan hidungnya di awal dia sakit. Belum lagi orang-orang asing yang melakukan eksekusi menyakitkan yang hadir dalam wujud dokter, perawat dan pengunjung. Malah terbersit dalam hatiku andai bisa ia masuk ke dalam tubuhku untuk kulindungi akan kulakukan. Dan aku pun mendapati diriku puas dengan apa yang kulakukan setelah kejadian beberapa bulan berlalu. Anakku sering kulihat bermain sakit-sakitan dengan bonekanya ia selalu menirukan apa yang kulakukan padanya secara persis. Aku melihat sebenarnya kejadian itu traumatis, terbukti dari ungkapan sedihnya ketika mengatakan anaknya sakit muntah darah dan diopname. Dan ungkapan menghiburnya pada boneka yang sakit menandakan betapa memorinya mencatat bahwa seorang ibu merupakan tempat ‘pulang’ yang menjadi muara segala rasa hatinya. Bayangkan jika yang ia ingat adalah amarah ibu (karena lelah berhari-hari tidak sempat tidur) ketika ia sulit disuruh makan, menyemburkan obat yang dengan setengah mati berhasil dimasukan ke mulutnya, memberontak hanya karena diselipin thermometer di ketiaknya. Atau keluhan ibu yang enggan diajak main ibu-ibuan dengan boneka karena capek menunggui nyaris tanpa memejamkan mata. Alangkah aneh jika yang keluar kata-kata itu yang ia tiru dari ibunya ketika ia bermain dengan bonekanya setelah kejadian itu berlalu.
Suatu Minggu di akhir liburan di rumah budhenya, anakku yang besar masih ingin tinggal. Padahal semua harus pulang karena hari Senin Ayah Bunda harus ke kantor dan ia pun harus sekolah. Ketika diajak pulang si anak malah mengamuk dipukulin saya dengan lumayan dech. Ayahnya marah, dan budhenya pun melarang dengan kata-kata yang luar biasa seperti “Nak nggak boleh begitu, budhe ngga rela adik budhe dipukulin kayak gitu”. Kehebohan pun terjadi. Tapi entahlah menurutku saat itu bukan itu yang dibutuhin anakku. Si anak tahu bahwa ia tidak mungkin akan tinggal karena dia sudah paham tapi dia terlampau ingin. Menurutku dia butuh didengar dan dimengerti saja. Kalau dia sampai memukul itu sebenarnya efek dari kerasnya larangan yang ia terima. Akhirnya kupeluk anakku kukatakan bahwa keinginannya bisa dipahami hanya tidak bisa karena seperti yang ia tahu, tapi lain kali akan direncanakan menginap lagi selama yang disepakati bersama. Dengan waktu yang sedikit agak lama karena harus membujuk dengan kata-kata yang dimengerti akhirnya dia berhenti menangis dan mengamuk. Yang menakjubkanku ketika berada dalam mobil menuju pulang, di saat semua berdiam, mungkin karena keletihan tiba-tiba ia memelukku, mencium sambil berkata “I love U Bunda, Bunda baik dech." Aku sempat terpana sebelum kubalas pelukannya kemudian diam-diam dari balik punggungnya kuhapus air mataku. Haru.
Yach mungkin hanya sebuah kejadian biasa, tapi alangkah indahnya jika anak kita tahu bahwa ia begitu berharga bagi kita hingga segala rasa hatinya didengar oleh kita orang tuanya. Andai boleh memilih akankah mereka mau dilahirkan oleh ibu yang cuek, miskin dan bersuami laki-laki keji, naudzubillahi min dzalik. Sekedar sebuah renungan untuk pembelajaran. (Tulisan ini sebenarnya dibuat setahun yang lalu kala itu aku membaca harian yang menurunkan berita pemerkosaan seorang bapak terhadap anaknya pada 29 Oktober 2009).